Sabtu, 30 September 2017

Wiranto Jamin Impor Senjata Brimob Bukan Gangguan Keamanan


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjamin impor senjata yang dilakukan Polri tidak menyebabkan gangguan keamanan nasional. Dia meminta persoalan pengadaan senjata ini tidak perlu dijadikan komoditas publik.
"Tidak ada satu hal yang menyebabkan gangguan keamanan nasional. Saya jamin itu. Tidak mengganggu keamanan nasional secara menyeluruh," kata Wiranto setelah upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Minggu, 1 Oktober 2017.

Dia mengatakan ini menjawab pertanyaan soal impor senjata api dan amunisi oleh Brimob. Senjata yang dikirim dari Bulgaria itu tertahan di Gudang UNEX Area kargo Bandara Soekarno Hatta sejak Jumat malam, 29 Serptember 2017, karena belum mendapat rekomendasi dari Badan Intelijen Strategis TNI. Impor senjata tersebut di antaranya terdiri dari Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) sebanyak 280 pucuk, dan amunisi sebanyak 5.932 butir.

Kepala Korps Brimob Polri Irjen Murad Ismail dalam jumpa pers Sabtu malam, 30 September 2017, membenarkan adanya impor senjata pelontar granat untuk Korps Brimob. Namun dia mengakumimpor dilakukan sudah sesuai prosedur. Senjata tersebut juga biasanya digunakan untuk penanganan huru-hara, dengan jarak tembaknya maksimal 100 meter.

Menurut Wiranto, impor senjata tidak perlu menjadi komoditas publik. Ada banyak masalah yang harus diselesaikan dengan koordinasi, termasuk pengadaan senjata. Karena itu, sebagai Menko Polhukam, dia akan mengkoordinasikan semua lembaga di bawah Kemenko Polhukam untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
"Biarkan kami, beri kesempatan saya, untuk bersama-sama Panglima TNI, Kapolri, dengan BIN, Pindad, dengan siapapun yang terlibat masalah pengadaan senjata, biar kami koordiansi menyelesaikan itu," ujar Wiranto.

Dia menganggap persoalan ini tidak harus disampaikan ke publik secara menyeluruh, karena publik bukan tempat untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Dia menambahkan, kebutuhan impor senjata memang ada karena ada senjata-senjata yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Namun ketentuan impor itu harus disesuaikan, misalnya untuk siapa, dananya darimana, kepentingannya untuk apa, dan aturan undang-undang bagaimana. "Kita semua sesuaikan. Tapi tidak perlu kita bicarakan di publik," kata Wiranto.

Polemik Soal Senjata Tidak Perlu Terjadi



JAKARTA - Kegaduhan soal senjata muncul lagi di ruang publik. Import senjata yang dilakukan oleh Polri mencuat dengan isu regulasi dan peruntukannya. Isu ini muncul terkait dengan datangnya Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40 x 46mm sebanyak 280 pucuk dan Amunition Castior 40mm, 40x 46mm round RLV-HEFJ with high explosive fragmentation Jump Grenade sebangak 5.932 butir (71 box) di Gudang UNEX Area Kargo Bandara Soekarno Hatta Jum'at 29 September 2017, pukul 23.30 WIB. Amunisi yang diimpor oleh PT. Mustika Duta Mas yang akan didistribusikan ke Korps Brimob Polri dengan menggunakan Pesawat Charter model Antonov AN-12 TB dengan Maskapai Ukraine Air Alliance UKL-4024.

Peristiwa ini beredar secara viral ke media massa dan masyarakat, permasalahan yang menjadi viral karena hingga saat ini rekomendasi Kabais TNI terkait ijin masuk impor barang tersebut belum diterbitkan. Pihak Polri diketahui telah mengajukan rekomendasi berdasarkan Surat Dankorps Brimob Polri kepada Kabais TNI Nomor B/2122/IX/2017 tanggal 19 September 2017.

Apakah senjata yang dibeli oleh Polri untuk kepentingan Brimob tersebut memang harus dipermasalahkan sesuai dengan aturabpembelian senjata tertuang dalam UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Pengadaan senjata yang sudah dirilis resmi pengadaannya di website Polri ini seharusnya tidak menjadi masalah apalagi menjadi polemik di masyarakat umum. Pengadaan senjata selama ini sudah sering dilakukan dan tentu saja pengawasannya sangat ketat. 

Polemik di media massa terkait senjata ini mudah dibaca oleh publik karena ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengadu domba institusi negara seperti TNI, Polri, BIN dan Kemhan. Hal ini tenti tidak sehat mengingat jika ini terjadi terus akan menjadi celah kerawanan bagi masuknya ancaman dari pihak lain. Selain itu kegaduhan tersebut berdampak pada terbukanya rahasia-rahasia negara termasuk senjata yang dimiliki oleh Indonesia. Hal ini sangat merugikan Indonesia.

Polemik seperti ini harus diakhiri. Tidak perlu lagi ada kegaduhan antar instansi yang muncul di ruang publik. Perlu pemilahan mana yang bisa menjadi kosumsi publik atau mana yang cukup menjadi penanganan khusus pemerintah. Masyarakat harus yakin bahwa pemerintah tetap kompak. TNI, Polri, BIN dan Kemhan tetap kompak di bawah Presiden. Hindari polemik yang tidak perlu dan kontraproduktif.
Selamat pagi indonesia

Minggu, 24 September 2017

Hendardi: Panglima TNI Lakukan Akrobat Politik Jelang Pensiun Dengan Isu "Lawas" PKI



Komentar Pers, Hendardi, Ketua SETARA Instutute, 24/9:

1. Pernyataan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tentang isu pembelian 5000 pucuk senjata oleh institusi non militer, rencana penyerbuan ke BIN dan Polri merupakan bentuk pelanggaran serius Pasal 3 dan Pasal 17 UU 34/2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan angkatan perang adalah otoritas sipil. Selain itu, menyampaikan informasi intelijen di ruang publik juga menyalahi kepatutan, karena tugas inteleijen adalah hanya mengumpulkan data dan informasi untuk user-nya, yakni presiden. Panglima TNI jelas a historis dengan hakikat reformasi TNI baik yang tertuang dalam TAP MPR, Konstitusi RI maupun dalam UU TNI dan UU Pertahanan.

2. Pernyataan Panglima TNI menunjukkan teladan buruk bagi prajurit yang justru selama ini didisiplinkan untuk membangun relasi yang kuat dan sehat dengan institusi Polri, akibat tingginya frekuensi konflik antardua institusi ini. Alih-alih menjadi teladan, Panglima TNI justru membawa prajurit TNI dalam konflik kepentingan serius yang hanya menguntungkan diri Panglima TNI, yang sepanjang Bulan September ini terus mencari perhatian publik dengan pernyataan-pernyataan permusuhan, destruktif, dan di luar kepatutan seorang Panglima TNI. Selain isu PKI, pemutaran film G30SPKI, perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan, pengukuhan diri sebagai Panglima yang bisa menggerakkan dan memerintahkan apapun pada prajuritnya, adalah akrobat politik Panglima TNI yang sedang mencari momentum politik untuk mempertahankan eksistensinya jelang masa pensiun.

3. Panglima TNI bermanuver dengan mencari musuh-musuh baru, bukan untuk tujuan kepentingan bangsa tetapi untuk kepentingan politik jangka pendek bagi dirinya. Perintah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada jajarannya untuk memutar film G30S PKI menggambarkan perspektif dan sikap politik Panglima TNI atas peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966. Alih-alih mendukung rencana pemerintah yang berencana menggali kebenaran persitiwa tersebut, Gatot justru bersikap sebaliknya mempromosikan kebencian kepada orang-orang yang dituduh PKI di masa lalu, meskipun hingga kini kebenaran peristiwa tersebut belum terungkap.

4. Sebagaimana diketahui film G30S PKI adalah film indoktrinatif yang diproduksi oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakan penguasa baru itu menciptakan stabilitas politik pada masanya. Film tersebut juga menjadi instrumen menyebarkan kebencian, stigma, dan diskriminasi permanen pada orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Di sisi lain, pasca Orde Baru, muncul banyak versi tentang peristiwa tersebut. Bahkan pemerintah telah berencana untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa yang sesungguhnya. Jadi, rencana pemutaran film yang digagas oleh Panglima TNI hanyalah model dan cara Orde Baru untuk menanamkan kebencian tanpa reserve, tanpa interupsi, meskipun yang disuguhkan adalah peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya pemutaran film tersebut tidak lagi dilakukan.

5. Di tengah upaya pemerintah yang berencana mengungkap kebenaran dan keadilan atas peristiwa kemanusiaan tersebut, Jokowi semestinya bisa mendisiplinkan seluruh elemen di bawah tanggung jawabnya untuk tidak membuat kegaduhan yang dapat menciptakan instabilitas politik dan keamanan. Dan yang paling utama, Jokowi menyegerakan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran HAM di 1965 tersebut. Dalam Nawacita, Jokowi-JK berjanji akan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965.

6. Dengan berbagai kontroversi yang dilakukan Panglima TNI, secara eksplisit terlihat kuat bahwa isu kebangkitan komunisme ternyata datang dari anasir-anasir TNI. Isu pembelian senjata, selanjutnya digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan efensif lanjutan institusi TNI. Cara Gatot Nutmantyo memimpin TNI adalah yang terburuk sepanjang era reformasi. Bukan karena melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan secara terbuka, tetapi karena membawa  kembali TNI berpolitik bahkan dengan mengorbankan koeksistensi antarinstitusi negara seperti Polri, BIN, dan Kemenhan.

7. Presiden Jokowi mesti berhati-hati mengambil sikap atas Panglima TNI. Karena Panglima TNI sedang mencari momentum untuk memperkuat profil politik bagi dirinya, maka tindakan atas Gatot Nurmantyo haruslah merupakan tindakan normatif dan biasa-biasa saja, sehingga cara-cara politik yang tidak etis yang sedang diperagakannya secara perlahan menjadi layu sebelum berkembang.