Kamis, 11 Januari 2018
KASUS PULAU REKLAMASI: HGB YANG SUDAH DITERBITKAN TIDAK MUDAH UNTUK DIBATALKAN
HGB yang sudah diterbitkan BPN tidak bisa begitu saja dibatalkan atas permintaan pihak lain, kecuali BPN menyadari adanya kesalahan administratif dlm penerbitannya. Itupun tidak mudah dilakukan, karena kesalahan administratif bukanlah kesalahan pemohon hak, tetapi kesalahan BPN sendiri. Pemohon hak telah bertanya kepada BPN apakah semua syarat dan prosedur sdh dipenuhi dan dijawab oleh BPN, sudah. Karena itu dalam praktek, pencabutan hak atas tanah yang dilakukan oleh BPN dengan dalih kesalahan administatif, umumnya kalah ketika digugat di PTUN sampai kasasi dan PK di Mahkamah Agung.
Kesalahan administratif yang dijadikan alasan, dapat menghilangkan kepastian hukum hak atas tanah. Bayangkan sertifikat tanah rumah seseorang yang telah dimiliki selama 25 tahun, tiba2 dibatalkan sepihak oleh BPN dengan dalih ada kesalahan administratif ketika menerbitkannya 25 tahun yang lalu. Negara ini menjadi seperti negara Abu Nawas.
Penerbitan HGB di pulau D dilakukan sesuai perjanjian antara Pemda DKI dengan pengembang. Yang punya hajat untuk melalukan reklamasi adalah Pemda DKI, bukan swasta. Swasta adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakannya. Pulau reklamasi mulanya tidak ada. Keberadaannya baru ada, bukan secara alamiah, melainkan direncanakan dan dibuat. Karena itu, lahan hasil reklamasi dalam jumlah yg besar itu pastilah dikuasai oleh negara.
Sesuai perjanjian, Pemda DKI akan memiliki Hak Pengelolaan (HPL) atas lahan reklamasi dan pengembang untuk jangka waktu tertentu akan mempunyai Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkab di atas HPL. BPN mustahil akan menerbitkab HGB tanpa persetujuan dan rekomendasi dari pemegang HPL yakni Pemda DKI. Karena itu BPN Jakarta Utara berkeras mengatakan bahwa penerbitan HGB di lahan pulau reklamasi telah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang2an yg berlaku.
Pemda DKI tidak bisa berdalih bahwa HGB yang diterbitkan menyalahi aturan karena blm ada Perda Tata Ruang dan Perda Zonasi. Kedua Perda ini memang belum ada. Pembahasannya di DPRD mangkrak. Mengatakan sesuatu salah dengan dasar sesuatu peraturan yang belum ada adalah tdk mungkin. Hukum berlaku prospektif, tidak bisa retroaktif. Berbagai aturan yang sudah ada, sebelum adanya Perda tata ruang dan zonasi, telah cukup menjadi dasat diterbitkannya bukan saja HGB, tetapi juga HPL atas nama Pemda DKI. Aturan itu antara lain Perda No 8 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Pergub DKI No 121/2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.
Jika BPN menolak pencabutan HGB di lahan reklamasi, karena merasa apa HGB yang diterbitkannya sudah sesuai prosedur, maka satu2nya jalan yang tersedia bagi Pemda DKI ialah mengajukan gugatan pembatalan HGB itu ke PTUN. Ini memang tidak lazim terjadi, suatu instansi pemerintah menggugat keputusan instansi lain ke PTUN. Tetapi di zaman sekarang ini, hal yang tidak lazim bisa saja terjadi. Hal yang tidak mungkinpun bisa pula menjadi kenyataan.
Pemerintah DKI tentu harus membuktikan bahwa mereka mempunyai legal standing untuk mengajukan gugatan dan membuktikan bahwa penerbitan HGB bertentangan dengan peraturan perundang2an yang berlaku — bukan dengan Perda Tata Ruang dan Perda Zonasi yg belum ada — dan bertentangan dengan asas2 umum pemerintahan yang baik.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar