Selasa, 10 Oktober 2017

Kompolnas: Jangan Menebar “Kebencian” Dengan Isu Senjata Api




Kompolnas: Jangan Menebar “Kebencian” Dengan Isu Senjata Api
Saya memandang perlu mengingatkan kembali agar turutilah perintah Presiden untuk jangan “gaduh”.

Saya berharap jangan ada upaya menebar kebencian di negara damai ini.
Akan tetapi, kegaduhan sepertinya terjadi lagi ketika ada konferensi pers sebagai mana dikutip dari http://nasional.kompas.com/read/2017/10/10/11585461/tni-senjata-yang-dibeli-polri-punya-kecanggihan-luar-biasa.

Disisi lain, perlu kiranya banyak hal diluruskan sebagai dampak dari siaran pers tersebut, guna mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Bahwa peluncur granat kaliber 40 X 46 mm selain dapat diisi amunisi tajam, juga dapat diisi dengan amunisi asap, Gas air mata dan amunsi latihan.

Amunisi tajam hanyalah untuk upaya Ultimumremedium. Dalam penggunaan amunis tajam, diproyeksikan untuk menghadapi spectrum ancaman kelompok kriminal bersenjata dengan tetap mempedomani aturan-aturan penggunaan senjata api, seperti Perkap No 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, dimana penggunaan senjata api merupakan tahap ke-6 ( tahap terakhir ), dan Perkap No 8 tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam pelaksanaan tugas Polri, yaitu ketika terjadi ancaman secara agresif bersifat segera yang mengancam keselamatan jiwa petugas dan masyarakat.

Didalam mewujudkan Harkamtibmas khususnya yang berintensitas dan berkadar tinggi seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Korps Brimob Polri juga dihadapkan pada tugas penanggulangan konflik sosial berupa huru-hara, tindakan anarki, rusuh masal, sehingga grenade launcher dapat diperlakukan sebagai laras licin yang diisi dengan amunisi gas asap/gas air mata sebagai perlengkapan pasukan PHH dan Anti anarki.

Pada hakikatnya sebuah keniscayaan bahwa Polri perlu dipersenjatai semoderen mungkin, terlebih Brimob, karena Polri harus menjaga stabilitas kamtibmas dalam kondisi apapun termasuk pada saat oknum atau kelompok tertentu yang memilik senjata, seperti yang pernah terjadi di negara kita pada masa lalu yaitu upaya-upaya sejumlah oknum militer untuk melakukan gangguan stabilitas Kamtibmas.

Senjata pelontar pada konsepnya adalah senjata dengan kaliber tertentu yang mampu melontarkan berbagai amunisi. Amunisi pelontar yang dibuat bisa sesuai pesanan mulai dari munisi  latihan  warnanya biru bahan terbuat dari tepung maupun hanya isian peledak primer saja sehingga bila terlontar maka akan meledak saat menghantam sasaran hanya keluar semburan tepung dan letusan kecil saja.

Kemudian isian Anti Personil biasanya warna kuning atau merah atau silver dengan tulisan HIGH EXPLOSIVE atau HE  anti personel yang bila dilontarkan akan meledak bila menghantam benda keras dan akan mengeluarkan serpihan seperti granat tangan dan mematikan bila jatuh dalam radius mematikan biasanya kurang dari 10 meter. Tetapi diluar jarak tersebut biasanya hanya melukai.

Sedangkan terakhir adalah anti material dengan tulisan juga sama HIGH EXPLOSIVE ANTI MATERIAL atau ARMOUR warnanya biasa hitam tergantung pabrik.  Akan meledak bila menghantam benda sangat keras seperti permukaan tank atau lapis baja dengan kekuatan lebih mematikan dan radius melukai juga lebih lebar cuma kelemahannya harus hantam benda keras kalau jatuh di sawah lembek akan pusung atau tidak ledak.

Amunisi yang “disimpan / dititipkan” menurut berita koran ya betul merupakan munisi tajam jenis anti personil karena memang brimob polri butuh untuk operasi penegakkan hukum sekala tinggi menghadapi kejahatan insurjensi dan terorisme.

Fakta bahwa ketika Brimob beberpa kali kontak  ditemukan senjata sniper berat 12.7mm di Poso, maupun kaliber 7.62 mm yang digunakan KKB di Papua, apalagi ketika mereka berhadapan dengan GAM di Aceh yang lengkap dengan RPG juga, adalah sebagian kecil dari alasan mengapa Polri dan khususnya Brimob harus dipersenjatai dengan canggih, selain karena negara ini pernah mengalami upaya untuk mengganggu pemerintahan yang sah oleh sekelompok oknum militer bersenjata.

Apa istimewanya peluncur granat dan amunisi tajamnya yang melumpuhkan, dibandingkan dengan Tank Scorpion dan Tank Leopard yang jelas sangat mematikan dan jauh lebih mahal dari peluncur granat tersebut?

Jika amunisi dari pelontar granat tersebut diikatakan lebih istimewa dibandingkan dengan peralatan perang atau semjata milik militer Indonesia, saya pikir ini pembodohan publik dan upaya provokasi yang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan yang berkuasa sekarang.

Alangkah aneh dan naif bahwa pada Apel Kasatwil Polri di Akpol tanggal 9 Oktober 2017, seolah permasalahan senjata sudah selesai, karena terlihat bahwa mereka yang selama ini “meneiaki” pengadaan peluncur granat Polri, telah bersama para pejabat Polri “cair” dan beramah tamah.
Laku kenapa tiba-tiba hari ini (10/10) ada siaran pers yang mengutik-utik masalah senjata kembali.

Alasan militer menjalankan amanah hukum menyimpan amunisi tajam dari peluncur granat tersebut, juga patut dilihat sebagai upaya pembodohan publik dan upaya provokasi lainnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 Senjata Api. Pendaftaran. Idzin Pemakaian. Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara No. 14 dan menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api.

Pada Pasal 5 ayat (1) jelas diatur bahwa Senjata api yang berada ditangan orang bukan anggauta Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya. Sedangkan pada ayat (2) pasal tersebut bahwa Senjata api yang berada ditangan anggauta Angkatan Perang didaftarkan menurut instruksi Menteri Pertahanan, dan yang berada ditangan Polisi menurut instruksi Pusat Kepolisian Negara.

Aturan ini menegaskan bahwa yang mengatur pendaftaran senjata milik Sipil dan Polri adalah Polri, sedangkan TNI hanya mengatur miliknya sendiri.

Kemudian, berdasarkan eraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 Tentang Kewenangan Perijinan Yang Diberikan Menurut Perundang Undangan Mengenai Senjata Api, ditegaskan pula sebagai mana dimaksud dalq Pasal 1 aturan tersebut bahwa “Kewenangan untuk mengeluarkan dan/atau menolak sesuatu permohonan perijinan menurut Vuurwapenregelingen A (in-, uit-, doorvoer en lossing) dan B (bezit-, handel en vervoer) 1939, Ordonnantie tanggal 19 Maret 1937 (Staatsblad 1937 No. 170), sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Staatsblad 1939 No. 278) dan Vuurwapenuitvoerings-voorschriften (invoer, uitvoer, doorvoer en lossing, bezit-, handel en vervoer) 1939, Ordonnantie tanggal 30 Mei 1939 (Staatsblad 1939 No. 279), diberikan kepada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan olehnya untuk itu, kecuali mengenai perijinan untuk kepentingan (dinas) Angkatan Perang, yang diurus oleh masing-masing Departemen Angkatan Perang sendiri”.

Aturan ini semakin menguatkan makna dari aturan sebelumnya (1948) bahwa yang mengatur pendaftaran senjata milik Sipil dan Polri adalah Polri, sedangkan TNI hanya mengatur miliknya sendiri.

Terlebih berdasarkan Penjelasan Pasal 1 Perppu dimaksud bahwa “Ketentuan perijinan mengenai senjata api, obat peledak, mesiu dan lain sebagainya untuk kepentingan (dinas) Angkatan Perang hendaknya diatur dalam lingkungan Angkatan Perang sendiri.

Adapun yang diperuntukkan bagi pribadi anggota Angkatan Perang tetap termasuk bidang kewenangan perijinan seperti untuk umum di luar Angkatan Perang, ialah di bawah Menteri/Kepala Kepolisian Negara”.

Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia

Pasal 1 angka 4 telah bertentangan dengan Asas Hukum: Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki). – vide Pasal 5 huruf c. Permenhan tersebut juga bertentangan dengan Hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut ketentuan UU No.12 Tahun 2011 – vide Pasal 5 huruf c , Pasal 7 dan Pasal 8 (sebelumnya lihat UU No. 10 Tahun 2004). Kemudian Permenhan tersebut bahkan juga bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960
Artinya terhadap senjata milik Polri, tidak ada kewenangan TNI mengawasi dan mengatur kepemilkan serta penggunaan senjata apapun milik non organik-TNI. Karena Permenhan bertentangan dengan UU maka keberlakuan pasal-pasal yang mengatur senjata Polri dan Sipil Wajib dikemsampingkan, Tidak mengikat dan Tidak boleh dijadikan rujukan hukum.

Pasal Permenhan dimaksud harus dipandang batal demi hukum dan Jika masih dipakai, wajib dibatalkan melalui proses hukum atau dengan sukarela oleh pembuatnya.

Untuk permasalahan ini semua agar Kemenhan segera lakukan revisi / perubahan setidaknya pasal terkait dengan persenjataan yang merupakan kewenangan Polri, serta agar pihak oknum militer yang selalu merasa tidak puas hingga harus memberikan keterangan persnya, agar dengan legowo dan ikhlas menerima kenyataan Supermasi Sipil dan Supermasi Hukum.

Kedepannya, agar segera pemerintah berserta DPR membuat dan mensahkan UU Peradilan Umum bagi anggota Militer yang terlibat permaslahan non militer dan non perang, sebagaimana amanah Tap MPR no 6 dan 7 tahun 2000.

Sehingga akan mudah melakukan audit forensik dan penyidikan terhadap pengadaan dan keberadaan senjata milik militer Indonesia, oleh institusi sipil.

Tidak perlu dihindari juga, mutatis mutandis, audit persenjataan Polri mulai dari pengadaan, penggunaan hingga perawatan, secara bertahap perlu dilakukan oleh Itwasum Polri.

Andrea H. Poeloengan
Anggota Kompolnas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar