Kamis, 30 November 2017

Hendardi : Aksi 212 Adalah Aksi Untuk Naikan Daya Tawar Politik


Komentar Pers, Hendardi, Ketua SETARA Institute, 1/12:

1. Perayaan 1 tahun aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 lalu adalah gerakan politik. Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini akan menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan.

2. Menguasai ruang publik (public space) adalah target para elit 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah. Bagi mereka public space is politic. Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi.

3. Sayangnya, gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia. Apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.

4. Namun demikian, perlahan gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah menyadari bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elit 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak relevan menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita. Tks.

Rabu, 22 November 2017

Viral Tak Tanda Tangani Kepanitiaan Reuni 212, Bachtiar Nasir: Saya Belum Pernah Ikut Rapat Sekalipun

Jakarta – Pentolan GNPF Ulama Ustadz Bachtiar Nasir mengaku dirinya hingga saat ini belum pernah mengikuti rapat perihal rencana reuni akbar 212 di Monas pada 2 Desember mendatang.
“Saya belum pernah ikut rapat sekalipun, jadi saya belum tahu tentang acara itu,” ungkap Bachtiar Nasir, hari ini.
Dia menyebutkan bahwa Ketua panitia nya dalam kegiatan 212 adalah KH. Misbahul Anam sehingga dalam hal ini dirinya belum dilibatkan dalam rapat tersebut.
“Jadi saya belum pernah rapat, takutnya saya salah ngomong,” ujarnya.
“Tapi GNPF Ulama diundang oleh panitia 212,” ucapnya.
Dikatakannya, Presidium Alumni 212 awalnya merupakan dibawah komando GNPM MUI. Namun, kata dia, untuk panitia kegiatan 212 2017 lebih banyak berasal dari FPI (Front Pembela Islam), dan Presidium Alumni 212.
“Terkait reuni 212 GNPF Ulama belum pernah rapat jadi belum bisa memberikan keterangan terkait kegiatan 212,” tandasnya.
Sumber : http://voahidayatullah.com/2017/11/22/reuni-212-bachtiar-nasir-gnpf-ulama-belum-pernah-rapat/

Rabu, 08 November 2017

Wapres Kalla Tak Setuju Usul Pembentukan TGPF Kasus Novel Baswedan


Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak setuju usul pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan.
Wapres Kalla masih optimistis Polri bisa menemukan pelaku penyerang Novel.

"Ya tidak semua harus TGPF, tergantung pandangan. Kalau polri sudah masih optimistis bisa dan kita mendorong bisa, tidak perlu," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (7/11/2017).

"(Polisi) harus serius dan saya yakin polisi akan serius," ujarnya

Saat wartawan menyinggung bahwa saat ini sudah 209 hari sejak penyerangan dilakukan kepada Novel, Kalla menyebut kemungkinan penyelesaian kasusnya agak sulit. Namun, ia tetap meyakini polisi bisa mengusut tuntas kasus ini.

"Ya mungkin perkaranya sulit memang. Kita tetap puji keseriusan polisi, mudah-mudahan tidak dalam waktu lama bisa diungkap," kata dia.

Sementara, Presiden Joko Widodo sebelumnya mengaku akan terlebih dahulu memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk bertanya perkembangan kasus Novel sebelum memutuskan perlu tidaknya pembentukan TGPF.

Jokowi juga pernah memanggil Kapolri saat desakan membentuk tim pencari fakta kasus Novel mencuat, Juli lalu.

Namun, saat itu Jokowi memutuskan untuk tidak membentuk tim pencari fakta dan menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus Novel kepada kepolisian.

Novel disiram cairan yang diduga air keras oleh orang tak dikenal di dekat Masjid Jami Al Ihsan pada 11 April 2017. Saat itu, Novel baru saja selesai menunaikan shalat Subuh berjemaah di masjid dekat rumahnya tersebut sekitar pukul 05.10 WIB.

Novel Baswedan merupakan Kepala Satuan Tugas yang menangani beberapa perkara besar yang sedang ditangani KPK. Salah satunya adalah kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Selasa, 07 November 2017

Hina Orang Bugis, JK: Mahathir Harus Minta Maaf



Jakarta : Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad meminta maaf atas hinaan terhadap suku Bugis yang dilontarkannya dalam pidato kontroversial pada 14 Oktober 2017 lalu.

Kalla mengatakan bahwa dirinya terkejut saat mengetahui pidato Mahathir yang memberiikan pernyataan menghina terhadap rival politiknya dengan menyatakan bahwa Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak adalah perompak karena berasal dari suku Bugis.

“Pertama sebagai orang Bugis saya protes dan terkejut. Maka, Mahathir harus minta maaf. Karena orang Bugis itu bukan hanya ada di Sulawesi Selatan, tapi di seluruh Indonesia, bahkan di Malaysia,” kata Kalla, di Jakarta, Selasa (7/11/2017).

Kalla menambahkan, Mahathir harus meralat pernyataannya tersebut karena dianggap melukai suku Bugis, dan tidak seharusnya pernyataan tersebut dilontarkan dalam pidato Mahathir dalam orasi politiknya di Lapangan Harapan, Petaling Jaya, Kuala Lumpur, Sabtu malam (14/10/2017).
“Mahathir harus meralat, jangan dihubung-hubungkan (soal suku),” ujar Kalla, yang keturunan Bugis tersebut seperti yang dilansir dari Antara.

Dalam pidato politiknya beberapa waktu lalu menyebutkan secara gamblang bahwa etnis keturunan Bugis sebagai pencuri dan penyamun. Setelah muncul pernyataan tersebut, Mahathir mendapatkan berbagai reaksi dan kecaman terutama dari masyarakat keturunan Bugis.

Protes keras disampaikan oleh Persatuan Perpaduan Rumpun Bugis Melayu Malaysia (PPRBMM) di hadapan Yayasan Kepemimpinan Perdana pada 18 oktober 2017, akibat pernyataan Mahathir tersebut.

Mereka mendesak Mahathir memohon maaf dan menarik balik pernyataannya yang mengatakan Bugis sebagai lanun.

Sabtu, 04 November 2017

Margarito Dan Johnson Panjaitan Tegaskan KPK Harus Dibersihkan


Jakarta - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mendukung keputusan Direktur Penyidikan KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman melaporkan penghinaan yang dilakukan Novel Baswedan melalui e-mail yang juga ditembuskan ke beberapa pimpinan KPK. Hal ini disampaikan Margarito saat tampil di ILC (Indonesia Lawyers Club) TV One, Selasa (5/9/2017), di Jakarta.

Apa yang dilakukan Aris sendiri setelah mendapat penghinaan tersebut adalah melaporkan hal itu ke pengawas internal KPK. Margarito bahkan menilainya tak perlu lagi.

“Yang membedakan manusia dengan kerbau, sapi, dan kambing adalah harga diri. Kalau saya jadi Aris, maka saya sampahkan aturan internal itu. Saya akan langsung laporkan itu ke polisi,” kata Margarito.

Sementara Johnson Panjaitan, pengacara korban yang ditembak Novel Baswedan di Bengkulu, langsung mengungkap bagaimana kasusnya dihentikan begitu saja. “Masa saya sudah menang di praperadilan, bahkan tanggal sidangnya sudah ditentukan, tapi tak jadi sidang. Apa seperti ini negara kita dikelola,” kata Johnson.

Dalam unggahan video di youtube atas acara tersebut, khususnya yang menyangkut pernyataan Margarito ini sudah mendapatkan 12 likes dan empat unlikes. Sementara video tersebut juga sudah ditonton oleh 3457 warganet hingga Rabu (6/9/2017) pagi.

Jumat, 03 November 2017

Peneror Novel Belum Terungkap, Polisi: Hanya Masalah Waktu

Pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan masih misteri. Sudah lebih dari 200 hari, polisi belum dapat mengungkap pelakunya.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menegaskan pihaknya masih terus melakukan upaya penyelidikan guna mengungkap siapa di balik teror tersebut.
“Hanya masalah waktu saja,” kata Argo kepada detikcom saat ditemui di ruangannya, Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (3/11/2017).
Ia katakan, pengungkapan kasus memiliki karakteristik berbeda-beda. Kecepatan penyidik dalam mengungkap kasus tergantung tingkat kesulitannya.
“Ada kasus yang cepat diungkap dan ada yang lamban, karena tingkat kesulitannya beda,” lanjut Argo.
Argo mencontohkan, kasus pengeboman Kedutaan Besar Indonesia di Paris, Prancis yang terjadi pada tahun 2004 dan 2012 silam. Meski kantor kedutaan tersebut memiliki CCTV yang bisa memberikan petunjuk, namun pelakunya hingga kini belum terungkap.
“Itu kasus Kedubes Indonesia di Paris dua kali dibom belum juga terungkap, padahal mereka sudah sangat serius dan sistem CCTV mereka bagus,” imbuh Argo.
Argo menyampaikan, Polda Metro Jaya sangat serius untuk mengungkap kasus ini. Ia juga meyakinkan kepolisian terus bekerja untuk mengungkap kasus tersebut.
“Penyidik masih terus bekerja mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkap siapa pelakunya,” kata Argo.

Rabu, 01 November 2017

PERMAINAN LICIK Novel Baswedan, Tempo, Dan ICW


Ternyata di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga ada lahan basah. Lahan di mana banyak orang berebut rejeki. Dan itu dimanfaatkan banyak pihak. Ya, oknum penyidik KPK, ya oknum wartawan, ya oknum LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Lahan basah inilah sebenarnya yang diincar Novel Baswedan dan gengnya.

Ribut-ribut antara Novel Baswedan dkk dengan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman tak lain karena Novel ingin menguasai lahan basah di KPK tadi.

Tapi masalah ini jadi ruwet dan opini publik karena adanya keterlibatan media besar Tempo dan wartawan-wartawannya seperti Wahyu Muryadi, Arif Zulkifli dll.

Di samping telah menguasai Majalah Tempo, Novel dkk juga menguasai LSM Indonesia Coruption Watch (ICW).

Dengan dua kekuatan ini, Novel Baswedan sangat powerfull di KPK. Setiap yang berseberangan dengan Novel Baswedan, pasti dihajar Tempo dengan menggunakan corong ICW.

“Novel, TEMPO, ICW itu satu geng. Pimpinan KPK pun tak berdaya. Apalagi pendiri ICW Teten Masduki ada di Istana. Febri Diansyah hanya boneka Teten karena sama-sama ICW,” kata seorang politikus DPR kepada
DobrakNews
Incar Posisi Dirdik
Tentu publik ingat bagaimana Aris Budiman seorang jenderal polisi bintang satu “dihabisi” geng Novel. Karena Novel ingin mengincar posisi yang diduduki Aris Direktur Penyidikan KPK.
Dicari lah berbagai cara untuk membunuh karakter Aris dan itu berhasil. Dengan dukungan TEMPO dan ICW, mereka berhasil menyingkirkan Aris.

Dengan tersingkirnya Aris di KPK, posisi ini akan diisi Novel Baswedan. Bayangkan seorang Kompol pensiunan dan masih sangat ijo bisa menduduki posisi Direktur Penyidikan selevel Jenderal Polisi bintang satu.

Aris alumnus Akpol 1988. Novel Akpol 1998. Beda sepuluh tahun. Kalau di Polri, Aris sudah Kapolda bintang satu, Novel Baswedan baru selevel Kapolres.

Di sinilah peran TEMPO. Novel dibikin super hero. Orang suci. Tokoh Pemberantasan Korupsi. Seakan-akan tanpa Novel, KPK akan mati suri. Lumpuh.

Jika ada serangan terhadap Novel dibangunlah opini seakan akan serangan itu terhadap lembaga KPK. Novel itu KPK dan KPK itu Novel.

Sebenarnya apa yang terjadi di KPK?Berdasarkan informasi yang dihimpun DOBRAKNEWS di KPK, Novel itu pemimpin Kelompok 28 di KPK beranggotakan polisi dan non polisi dan sebagian besar adalah rekan satu angkatan Novel di Akpol dan sebagian lagi juniornya.

Kelompok 28 ingin menguasai jabatan-jabatan yang dipegang penyidik polri. Ini masalah karir dan masa depan mereka rupanya.

Dulu tidak ada konflik karena geng Novel merasa paling senior dan merasa sebagai penyidik senior. Tapi setelah posisi Direktur Penyidikan diduduki Aris Budiman kelompok Novel gelisah. Bisa jadi marah.

Rupanya jauh-jauh hari kelompok Novel sudah mengincar posisi Direktur Penyidikan dan selanjutnya Deputi KPK dengan harapan bisa jadi komisioner KPK setelah itu.

Adanya perwira Polri senior seperti Aris Budiman dianggap penghalang bagi geng Novel. Untuk menendang Aris dari KPK dibuatlah isu integritas dan lain lain.

Padahal Novel dkk sejatinya jabatan jabatan strategis itu dipegang kelompok mereka.
Benarkah Novel hebat seperti digembar-gemborkan TEMPO?

Novel ini polisi dengan prestasi biasa-biasa saja. Dia bukan lulusan Akpol 98 yg ranking top di angkatannya. Dia cuma ada pada papan tengah. Yg top itu AKBP Robert Dedeo juga eks KPK. Dia Adhi Makayasa.

Novel pernah jadi Kasat Serse Polres Bengkulu. Lihat apa yang dilakukannya. Membunuh tersangka yang harusnya dia lindungi. Masa gara-gara sarang burung walet orang mati dan yang lainnya lumpuh karena kakinya ditembak Novel.
Dimana kasus kejahatan Novel itu sekarang? Dipetieskan. Hilang tak tentu rimbaya. Novel benar-benar orang hebat yang tak tersentuh hukum. Coba giliran Novel disiram air keras seperti Indonesia teriak karena di blow up oleh TEMPO, ICW dan geng !

Sejumlah penyidik KPK baik yang dari unsur Polri mau pun non Polri suda muak dengan manuver dan sinetron yang dibangun Novel Baswedan, TEMPO, ICW and geng media yang mereka bangun.

“NB gak ada apa2nya. Hasil kerjaan polisi polisi top ini yg dibajak oleh Novel untuk menutupi kelemahannya dan agar dianggap berintegritas dia nanti yg kelihatan di Media, TV, kasih bocoran ke majalah Tempo agar seolah2 hasil kerja dia. Teman2nya banyak kesal dan dongkol dengan kelakuannya ini. Dan bawa bawa agama supaya kelihatan di publik seperti seorang pahlawan anti korupsi,” kata penyidik KPK tersebut.

Teman angkatan Novel Akpol 98 tahu kelas dan kualitasnya Novel biasa saja. Mereka banyak yg mencibir dengan cara Novel membentuk opini di media seperti sosok yg hebat. Taat agama.
Sebenarnya Novel dkk masih butuh puluhan penyidik Polri tapi pangkat AKP ke bawah. Agar Novel Baswedan tidak ada saingan dan bisa kendalikan yang yunior yunior tersebut.

Geng Novel paham betul bahwa masih perlu penyidik polri. Karena penyidik Polri mumpuni dan pengalaman. Mental berani menabrak tersangka koruptor dibanding penyidik yg dari sipil yg latar belakangnya tidak jelas.

Penyidik dari Polri juga mudah koordinasi dengan polisi wilayah yang diperlukan KPK untuk membantu mereka saat operasi di wilayah.
Jabatan yg diincar Geng Novel: Direktur Sidik, Direktur Monitor, Kepala Pengawas Internal dan berikutnya Deputi.

“Geng Novel Baswedan itu galau. Maka dia mulai kalah dengan teman angkatannya. Maka berusaha keras jadi Direktur atau eselon dua sehingga merasa tidak ketinggalan dari temannya yang masih dinas di Polri. Bahkan Novel Baswedan ingin lebih tinggi. Jika dia jadi Direktur Penyidikan di KPK, itu sama dengan level Kapolda bintang satu.

TEMPOMedia pro Novel seperti TEMPO, memang menjadikan Novel hero. Imbalannya Novel membocorkan hasil penyidikan kasus di KPK ke media itu. Bukan hanya sekedar informasi, ada deal-deal berbau rupiah yang melibatkan oknum wartawan TEMPO.

TEMPO selalu dapat berita update berita dari KPK. Itu bocoran Novel Baswedan. Dan berita ini kemudian dijadikan alat deal. Bahasa kasarnya pemerasan.

“Geng Novel, Tempo, ICW itu bagian dari sindikat ini. Tangkap, beritakan, peras, diamkan,” kata sumber.

(DobrakNews punya catatan kasus yang dijadikan uang oleh kelompok ini. Nanti kami bongkar)
Lantas kenapa Novel benci mantan institusi nya?”Novel sakit hati. Dua kali gagal Sespim. Sejak itu dia dendam dengan Polri,” kata teman angkatan Novel.
ICW

ICW selama 2 tahun terakhir ini seolah2 jadi ormasnya KPK. Hidup mati ikut KPK. Salah benar dukung KPK.

ICW seharusnya jadi patner KPK yang kritis. Bukan jadi antek bodoh. Apalagi jadi antek Novel Baswedan, dan Teten Masduki.
Kini ICW tdk lebih dari ‘herder’ Novel yang setia dan siap menggonggong siapa saja yg serang, kritik, Novel Baswedan.

Di mata ICW, Novel bak malaikat surga yg bersih suci tanpa noda. Padahal KPK jilid 3 ini penuh dgn coreng moreng hitam diwajah bopengnya
Kenapa ICW rela jadi underbouw KPK
Ini tidak terlepas dari 3 faktor.
1) Bambang Widjajanto Wakil ketua KPK masih merangkap jabatan di ICW.
Padahal, sesuai UU KPK pasal 29 ayat 9, disebutkan pimpinan KPK tdk boleh merangkap jabatan struktural dan jabatan lain apapun dimanapun. Bahkan untuk UU KPK juga mewajibkan pimpinan Komisi untuk menghentikan profesi awalnya ketika dia sudah dilantik menjadi pimpinan KPK.
Namun, UU KPK ini dilanggar sendiri oleh Bambang Widjajanto serta dibiarkan saja oleh KPK dan ICW.

Sungguh ironis dan memalukan.Demikian juga dengan penilaian bahwa KPK tebang pilih dan diskriminasi terhadap kasus, terduga dan TSK tertentu menjadi berdasar/terbukti.Jika Pimpinan KPK saja adalah seorang pelanggar hukum, bagaimana rakyat dan bangsa ini bisa mempercayai KPK utk menegakan hukum?

Bagaimana dgn ICW ?

SejakICW diketahui menerima bantuan finansial dari KPK, maka integritas dan independensi ICW pun lenyap. Hancur. ICW melanggar sendiri nilai2 organisasinya sendiri : keadilan, kesetaran, demokratis, kejujuran. ICW sdh meninggalkan nilai-nilai tersebut.

ICW juga sudah melanggar prinsip2 organisasinya sendiri : integritas, akuntabilitas, independen, objektif dan antidiskriminasi.
Penyelewengan ICW pada misi, prinsip dan nilai2nya sendiri ini diakui oleh seorang pendiri dan anggota dewan etik ICW.

Sungguh memalukanLihat bagaimana ICW memberikan komentar dan tanggapan terhadap kasus kasus Novel Baswedan. Sangat kental nuansa subjektif, diskriminasi, non independen
ICW selalu membela Novel membabi buta, tidak pernah berikan kontrol dan koreksi. Tak objektif dan tidak mendorong terwujudnya KPK yang bersih.

ICW tidak pernah kritis dan koreksi KPK RI yg terbukti sangat lamban mengusut korupsi2 istana, cikeas, keluarga & kroni Presiden.
ICW tidak pernah mengkritisi busuknya KPK dan pelangaran2 hukum, etika dan SOP yang dilakukan oleh KPK.

Pura pura bego. Memalukan. ICW tidak pernah membahas kooptasi dan penyanderaan KPK oleh pihak istana/cikeas. ICW buta bisu tuli jika ada kebusukan di KPK.

Why ?

ICW tidak pernah bersikap adil ketika terjadi penzaliman dan kriminalisasi yang dilakukan oleh KPK terhadap tokoh2 tertentu seperti Anas Urbaningrum.

ICW bungkam ketika KPK tidak berkutik dan bertekuk lutut dalam pengusutan korupsi Hambalang yg melibatkan Choel, Ibas, Ani, Joyo dll
ICW tdk pernah bersuara ketika melihat keanehan2 dalam penetapan prioritas dan perlakuan proses hukum oleh KPK.

ICW sah jadi budak KPK. Jadi budak Novel Baswedan. Jadi budak budak Teten Masduki.
ICW tidak pernah bersuara, gagu, tergigit lidahnya ketika KPK tidak juga usut 31 kasus korupsi nazar dan Sandi Uno.

Tanya kenapa?

ICW gagap ketika melihat Petinggi2 KPK sdh melacurkan diri, bahkan menjadi kriminal dan tersandera istana karena ancaman jadi Tersangka di zaman Rezim SBY.

ICW terkencing-kencing di celana dan ngumpet di balik meja ketika tahu Warih Sadono paksakan kasus Miranda Gultom yg ditolak 6 penyidik KPK. ICW tak mampu mendesak KPK RI untuk usut kasus century, usut Sri Mulyani, Budiono, Marsilam Simanjuntak cs yg terlibat di Century
Busuknya moralitas ICW dan BW yang melanggar UU KPK tsb membuat tuduhan bhw BW merekayasa saksi palsu jd beralasan.

ICW jadi budak : SAH. Bukan hanya faktor uang, faktor perut lapar dan dapur harus berasap yg menjadi motif ICW jadi budak KPK. Juga karena pengaruh senior2nya. ICW sejak berganti donatur dari Arifin Panigoro ke kelompok sosialis, menjadi berubah ideologinya menjadi organisasi sosialis oportunis.

Apalagi KPK RI berbaik hati dan karena berharap dukungan ICW dlm pembentukan opini, memberi kesempatan staf ICW jadi pegawai KPK. KKN !
Lupakanlah independensi ICW dan KPK. Lupakan integeritas ICW dan KPK. Sama2 pelacur hukum dan perusak tatanan hukum Indonesia. 
MERDEKA !